Total Tayangan Halaman

Minggu, 18 April 2010

Sopian: Makna Syahadat (Bai'ah)

Sopian: Makna Syahadat (Bai'ah)

Makna Syahadat (Bai'ah)

Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh

Pendahuluan
Kalimat syahadat adalah pintu gerbang seseorang menjadi muslim. Ketika seseorang ingin masuk Islam, hal pertama yang dilakukan adalah mengucapkan “Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammaddar rosuulullaah”. Dengan ucapan tersebut ia otomatis sudah menjadi seorang muslim yang memiliki konsekuensi menjalankan syariat Islam. Kalimat ini pulalah yang menentukan seseorang itu husnul khatimah atau su’ul khatimah di akhir hayatnya. Dengan kalimat ini pula pintu syurga terbuka untuknya.
Konsep yang terkandung dalam kalimat laa ilaaha illallaah adalah konsep pembebasan manusia dari penghambaan apapun kecuali Allah SWT semata-mata. Manusia menafikkan secara langsung segala bentuk ketuhanan yang ada di alam ini, kecuali hanya Allah SWT. Penolakan tersebut bertujuan untuk membersihkan aqidah dari syubhat ketuhanan dan menegaskan bahwa segala arti dan hakikat ketuhanan itu hanya ada pada Allah.
Kalimat syahadah ini memberikan pemahaman kepada kita dalam memahami dan bersikap bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah saja, tiada pemberi rizki selain Allah, tiada pemilik selain Allah, tiada yang dicintai selain Allah, tiada yang ditakuti selain Allah, tiada yang diharapkan selain Allah, tiada yang menghidupkan dan mematikan selain Allah, tiada yang melindungi selain Allah, tiada daya dan kekuatan selain Allah dan tiada yang diagungkan selain Allah. Kemudian pengakuan Muhammad Rasulullah adalah menerima cara menghambakan diri berasal dari Rasulullah SAW sehingga tata cara penghambaan hanya berasal dari tuntunan Allah yang disampaikan kepada rasul-Nya.
Oleh karena itu syahadatain menjadi suatu pondasi dari sebuah metode lengkap yang menjadi asas kehidupan umat muslim. Dengan pondasi ini kehidupan Islami akan dapat ditegakkan. Semakin dalam pemahaman kita terhadap konsep syahadatain dan semakin menyeluruh kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka semakin utuh kehidupan Islami tumbuh dalam masyarakat muslim.
II. Definisi Syahadah
1. Secara bahasa, “Asyhadu” berarti saya bersaksi. Kesaksian ini bisa dilihat dari waktu, termasuk dalam aktivitas yang sedang berlangsung dan masih sedang dilakukan ketika diucapkan Asyhadu ini sendiri memiliki tiga arti:
a. Al I’lan (pernyataan), QS. Ali Imran (3 : 18) “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
b. Al Wa’d (janji), QS. Ali Imran (3 : 81) “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan bersungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman : Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu? Mereka menjawab: Kami mengakui. Allah berfirman: Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”.

c. Al Qosam (sumpah), QS. Al Munafiqun (63 : 2) “Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan”.
2. Secara istilah syahadat merupakan pernyataan, janji sekaligus sumpah untuk beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya melalui :
a. Pembenaran dalam hati (tasdiqu bil qolbi)
b. Dinyatakan dengan lisan (al qaulu bil lisan)
c. Dibuktikan dengan perbuatan (al ’amalu bil arkan)
Menurut hadist : “Iman adalah dikenali oleh hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan rukun-
rukunnya”. (HR Ibnu Hibban)
Setelah memahami syahadah maka akan muncul keimanan, keimanan ini harus terus disempurnakan
dengan sikap istiqomah, QS. Al Fushilat (41)
Istiqomah yang benar akan menghasilkan :
a. Syaja’ah (berani), QS.Al Maidah (5 : 52) “Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani), seraya berkata: Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”.
b. Ithmi’nan (ketenangan), QS Ar Ra’du (13 : 28) “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.
c. Tafa’ul (optimis)
III. Jenis-jenis Syahadah
a. Syahadah Rububiyah yaitu pengakuan identitas terhadap Allah sebagai pencipta, pemilik, pemelihara dan penguasa,
QS. Al A’raf (7 : 172) “Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Rabbmu. Mereka menjawab: Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)”.
b. Syahadah Uluhiyah yaitu : pengakuan loyalitas terhadap Allah sebagai satu-satunya supremasi yang boleh disembah dan ditaati, QS. Al A’raf (7 : 54) “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam”.
c. Syahadah risalah yaitu pengakuan terhadap diri Muhammad SAW sebagai utusan-Nya beliau adalah suri tauladan bagi manusia, QS. Al Ahzab (33 : 21) “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Hadza wallohi yar’ana wayahfadna walkhamdulillahirobbil’alamin

Selasa, 13 April 2010

Syaksiyah Islamiyah (Keperibadian Muslim)

Oleh: Sopian

Al-Qur'an dan Sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah saw yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan peribadi muslim. Peribadi muslim yang dikehendaki oleh Al-Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang shaleh, peribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah Swt.
Persepsi masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda, bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah peribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah, padahal itu hanyalah salah satu aspek yang harus ada pada peribadi seorang muslim. Oleh karena itu standard peribadi muslim yang berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah merupakan sesuatu yangwajib dirumuskan, sehingga menjadi acuan bagi pembentukan peribadi muslim.
Bila disederhanakan, sekurang-kurangnya ada sepuluh profil atau ciri khas yang mesti ada pada peribadi seseorang muslim.
1. Salimul Aqidah
Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang sepatutnya ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam' (QS 6:162).
Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam da'wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.
2. Shahihul Ibadah.

Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: 'shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.' Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq.

Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur'an, Allah berfirman yang artinya: 'Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung' (QS 68:4).
4. Qowiyyul Jismi.

Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi peribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesiatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sering sakit. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah saw bersabda yang artinya: 'Mu'min yang kuat lebih aku cintai daripada mu'min yang lemah' (HR. Muslim).
5. Mutsaqqoful Fikri

Intelek dalam berfikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi peribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur'an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: 'pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.' Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (QS 2:219).
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktiviti berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Dapat kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9).
6. Mujahadatul Linafsihi.

Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
7. Harishun Ala Waqtihi.
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya.
Allah swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: 'Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu.' Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, rehat sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi.

Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur'an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya penerusan dan berilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.
9. Qodirun Alal Kasbi.
Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan kekuasaan (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru boleh dilaksanakan bilakala seseorang memiliki kekuasaan, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kareitu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umrah, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur'an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan kekuasaan inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi'un Lighoirihi.

Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksima agar dapat bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peranan yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).
Hadza wllohi yar’ana wayahfadna walkhamdulillahirobbli’alamin