Total Tayangan Halaman

Senin, 03 Januari 2011

Negara Tanpa Arah Yang Jelas

Cita-cita masyarakat adil dan makmur tak lagi bergaung. Padahal itu menjadi panduan bagi perjalanan panjang bangsa ini ke depan. Tak ada lagi visi negara yang menjadi kompas untuk jangka menengah dan panjang. Pancasila antara ada dan tiada. Kepemimpinan yang ada sulit diharapkan membawa bangsa ini keluar dari krisis. Lantas negara ini mau dibawa ke mana? Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit.” Karena konsisten dengan seruannya, Bung Karno mencanangkan masyarakat adil dan makmur sebagai cita-cita bangsa yang harus dikejar dan diwujudkan. Yang jadi pertanyaan, apakah bangsa ini masih memiliki cita-cita tersebut? Jangankan cita-cita masyarakat adil dan makmur, panduan visi semacam GBHN dan Repelita saja sudah dilupakan. Bangsa ini tidak begitu lagi percaya dengan keampuhan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan way of life menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekarang cita-cita yang ingin diraih Bung Karno semakin jauh dari jangkauan.
Tokoh sepuh Prof. Suhardiman (82) di dalam disertasi yang ditulisnya tahun 1971, membikin estimasi bahwa Indonesia memerlukan masa pemulihan selama seabad setelah mengalami penjajahan tiga setengah abad. Baru kemudian beranjak menuju masyarakat adil dan makmur. Amerika Serikat menikmati kemajuan seperti sekarang setelah menebusnya selama dua abad.
Sedangkan Jepang mencapai kemajuan pesat seabad setelah Meiji Restorasi. Lantas bercermin pada keadaan sekarang, Suhardiman membandingkan Indonesia dan Korea Selatan. Sewaktu berkunjung ke Korsel tahun 1967, dia memperoleh kesan negeri itu belum apa-apa. Tetapi sekarang, Korsel sudah jauh meninggalkan Indonesia.
Bicara soal visi negara, Suhardiman mengakui, sekarang yang menonjol visi kelompok, golongan, paling tinggi visi partai yang beranekaragam. Di era Orde Baru, Indonesia memiliki GBHN dan Repelita. “GBHN itu hanya untuk kontrol, tahu-tahunya tidak dihidupkan lagi,” kata Suhardiman kepada Tokoh Indonesia dan Berita Indonesia. Sekarang masalahnya, kata Suhardiman, bagaimana keluar dari masalah ini. Karena itu, masing-masing pemimpin, dalam agendanya harus menempatkan diri sebagai pemimpin bangsa. Mulai sekarang, katanya, para tokoh-tokoh diharapkan memiliki visi kebangsaan dan kembali ke UUD 1945. Kata Suhardiman, mereka harus meninggalkan visi masing-masing. Mereka harus menjadi tokoh Indonesia, bukan tokoh golongan, partai atau kelompok.
Yang dilihat Suhardiman bahwa negeri ini sedang menghadapi tiga belas macam krisis—ideologi, konstitusi, kebangsaan, moral, kepemimpinan, politik, ekonomi, hukum, sosial, keamanan, lapangan kerja, alam dan budaya. Dalam bidang ideologi, kata Suhardiman, keyakinan bangsa melemah bahwa Pancasila sebagai ideologi negara. Kepemimpinan yang ada, tambahnya, tidak mampu meyakinkan rakyat untuk mengimplementasikan Pancasila secara konkret dan konsekuen dalam suasana globalisasi. Menurut Suhardiman, apabila krisis-krisis tersebut tidak teratasi bisa menimbulkan krisis yang lebih berbahaya, rapuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dia memberi contoh pada keinginan untuk membentuk negara federal atau fundamentalisme agama di banyak daerah, seperti Aceh. “Ini tidak mencerminkan filosofi Pancasila dan UUD 1945,” kata Suhardiman kepada Berita Indonesia. Sementara setiap partai politik melaksanakan ideologi mereka masing-masing, cenderung mengabaikan ideologi negara Pancasila.
Dia juga memperkirakan terjadinya krisis konstitusi setelah empat kali amandemen UUD 1945. Karena itu, SOKSI yang didirikannya mendesak dilaksanakannya Reformasi Jilid II dan Amandemen UUD 1945 yang Kelima. Suhardiman mengisyaratkan meletupnya tuntutan masyarakat untuk kembali ke UUD 1945 yang asli. Soalnya, dia menilai bahwa UUD 1945 dirumuskan oleh para negarawan, bukan politisi yang mengutamakan kepentingan golongan atau partai mereka sendiri. Kunci untuk memulihkan semua krisis tersebut, menurut Suhardiman, adalah kepemimpinan budaya, yaitu perlu adanya perombakan mendasar melalui pembangunan mental masyarakat dengan nation and character building. Suhardiman menilai krisis kepemimpinan budaya semakin parah akibat ketakmampuan memelihara nilai-nilai budaya leluhur. Nilai-nilai akhlak dan moral merosot, ditandai oleh munculnya generasi penghujat, dan dekadensi moral, seperti merajalelanya kasus Narkoba dan pornografi.
“Tanpa jati diri dan budaya yang kokoh niscaya Indonesia akan larut dalam pusaran pertarungan global yang didominasi oleh negara-negara kaya,” kata Suhardiman. Sementara nilai-nilai luhur budaya bangsa yang menjadi ciri khas Indonesia, seperti budaya malu, budaya tahu diri, ramah-tamah, sopan santun, berbudi serta budaya harmonisasi dan toleransi, semakin luntur. Dia ingin melihat manusia Indonesia merefleksikan dirinya sebagai mahluk ciptaan Tuhan, mahluk sosial dan mahluk individu.
Suhardiman menilai, Indonesia juga mengalami krisis kepemimpinan politik di dalam menjaring tokoh-tokoh negarawan, justru yang muncul lebih mencerminkan dirinya sebagai pemimpin partai, pemimpin kelompok atau pemimpin golongan. Krisis tersebut lebih banyak menelorkan pemimpin yang punya loyalitas ganda, paling tidak menyamakan kepentingan partai atau golongan dengan kepentingan negara. Sekarang, katanya, bertarung kepemimpinan partisan; nasionalis, federalis, separatis, fundamentalis agama, ekstremis kanan dan kiri, serta kelompok masyarakat yang merefleksikan ideologi mereka dalam bentuk organisasi, partai, ormas dan LSM.
Cukupi Pangan Rakyat
Sementara itu, Dr. Syaykh AS Panji Gumilang melihat pencapaian cita-cita masyarakat adil dan makmur harus dimulai dengan membangun desa. Sebab itu, kata Syaykh, desa memerlukan pemimpin bangsa yang menjadi lokomotif perubahan. Yakni, pemimpin yang berorientasi ke masyarakat desa dan pembangunan desa. Alasan Syaykh, bangsa ini lemah karena rakyatnya kurang makan dalam arti makanan yang cukup gizinya. Karena hanya makanan yang bergizi yang mengekarkan tubuh dan mencerdaskan otak.
Kata Syaykh, semestinya pemerintah menata pangan rakyat dulu baru membangun ekonomi. Sebab negara-negara yang sudah makmur membangun ekonomi untuk mempertahankan pangan aktual rakyat. Mengapa? Karena mereka memulai pembangunan dengan rakyat yang cukup makan. Bukan sekadar perutnya kenyang, tetapi protein cukup, gizi cukup dan vitamin cukup, sehingga bangsanya kokoh dan lebih cepat dan efisien membangun ekonomi mereka.
Menurut Syaykh kekuatan bangsa ini letaknya di desa. Bukan pada para elit yang tinggal di kota. “Mereka tidak diangkat bisa jalan sendiri,” kata Syaykh dalam wawancara dengan Berita Indonesia. Kata Syaykh, banyak bukti bahwa desa belum terlalu diperhatikan. Orang kota saja sulit masuk ke desa, seperti ke Desa Sandrem, Indramayu, yang menjadi lokasi Lembaga Pendidikan Al-Zaytun. Padahal di situ, menurut Syaykh, ada unsur yang bisa mendekatkan kota dan desa. Cita-cita Syaykh membangun Al-Zaytun di desa adalah menjembatani desa dan kota, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dialog panjang antara Syaykh dan BI (dimuat lengkap dalam edisi 23) merupakan wujud dari keinginan untuk bangkitnya Indonesia yang kuat di masa datang.
Di dalam pernyataan sikap politik yang bertajuk: Kelemahan Kepemimpinan Nasional Mengancam Eksistensi Nasional, KAMMI mempertanyakan apakah negara ini telah sungguh-sungguh merdeka? Jawabannya yang diperoleh dalam muktamarnya yang kelima di Palembang (28/9), belum disertai berbagai bukti di lapangan. Kemandirian negara ini ketika masuk wilayah penguasaan dan pengelolaan negara masih cukup jauh dari makna kemerdekaan. Pengelola negara memiliki kecenderungan menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada mekanisme pasar (globalisme dan kapitalisme). Di sini, negara mencoba mengurangi tanggung jawabnya kepada rakyat.
Terkait dengan pangan dalam negeri, KAMMI melihat persoalan tidak hanya pada tataran produksi, tetapi juga distribusi pangan. Bahwa kebijakan impor beras sangatlah tidak bijak ketika petani di dalam negeri memasuki panen raya, artinya produksi pangan sedang surplus. Karena impor tersebut pasti akan merugikan petani. Selain itu, semakin meningkatnya kasus busung lapar dan gizi buruk juga menunjukkan adanya permasalahan di dalam distribusi pangan.
Menurut KAMMI, pada setiap paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, hingga saat ini masih identik dan memperkuat agenda-agenda kapitalisme dan imperialisme global di Indonesia. Liberalisasi sektor keuangan, pengurangan subsidi rakyat, privatisasi (penjualan aset negara) kepada pihak asing, utang luar negeri, liberalisasi pasar rakyat, merupakan sebagian contoh yang bisa dilihat secara kasat mata tentang agenda kapitalisme global di Indonesia yang didukung oleh kebijakan pemerintah. Artinya, kebijakan pemerintah yang ada belum memberikan keberpihakan dan perlindungan bagi masyarakat. Sikap dan pandangan KAMMI ini ditujukan kepada pemerintah, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dan segenap elemen masyarakat sipil.Keresahan dan kegelisahan terhadap situasi kebangsaan yang tidak makin membaik selalu muncul pada setiap pertemuan aktivis mahasiswa. Bahwa indikator perbaikan ekonomi versi pemerintah dan menguatnya nilai rupiah terhadap dolar, tidak serta merta menghasilkan perbaikan di sektor riil. Karena kenyataannya masyarakat tetap saja sulit membangun usaha, PHK bertambah dan angka gizi buruk Balita meningkat.
Lantas di mana titik permasalahannya? Jika dikaitkan dengan kondisi sektor-sektor lain, arah gerak bangsa ini akan semakin dipertanyakan. Hal serupa terjadi pada sektor tambang dan energi. Sumber daya tambang dan energi negeri ini begitu besar, tetapi masih sedikit sekali tingkat kemanfaatannya bagi pembangunan masyarakat. Sebagian besar justru diambil dan dibawa oleh perusahaan-perusahaan asing. Pemerintah tidak berupaya serius untuk menguasai dan mengelola kembali sumber daya alam yang dikuasai pihak asing.
KAMMI melihat kepemimpinan nasional yang ada sekarang sangat sulit diharapkan bisa membawa bangsa ini keluar dari krisis multidimensional. Karena ketidaktegasan keberpihakan mereka pada kepentingan nasional dan kepentingan rakyat.