Total Tayangan Halaman

Jumat, 12 November 2010

Indonesia Sebagai Sarang Korupsi Sistemik

Korupsi di Indonesia sudah dianggap ‘membudaya’ dan semakin sistemik, berlangsung mulai dari tingkat tertinggi pemerintahan hingga paling bawahKorupsi di Indonesia sudah dianggap ‘membudaya’ dan semakin sistemik, berlangsung mulai dari tingkat tertinggi pemerintahan hingga paling bawah. Namun, korupsi yang sistemik itu sangat sulit dibuktikan, sebab para pelakunya sudah semakin terampil menghilangkan jejak.
Cita-cita para pendiri bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa masih belum jadi kenyataan. Penyebab utamanya, para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), masih lebih mengutamakan menyejahterakan diri sendiri. Mereka dengan alasan demi kesejahteraan umum, bisa merancang sebuah tindakan yang justru memperkaya diri sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hampir semua instansi pemerintah di Indonesia sudah menjadi sarang korupsi sistemik. Disebut korupsi sistemik karena sudah menyatu dan ‘membudaya’ dalam sistem birokrasi, serta bisa berlangsung dengan mulus dan dalam waktu lama tanpa bisa terendus semua perangkat hukum dan aparat penegak hukum. Karena, rancangannya memang dibuat sedemikian rupa sistemik, dan liat dari jeratan hukum. Celah hukum dimanfaatkan betul untuk berbuat korup. Semua prosedur administratif dibuat sedemikian rupa. Atau sama sekali barang bukti tak ada yang bersisa. Semua dibuat ‘terlihat’ rapi dan sesuai prosedur. Kalaupun dugaan korupsi sempat masuk ranah hukum, gantian, aparat penegak hukum malah bisa masuk dalam jaringan sistim korupsi yang sistemik itu.

Lalu kalaupun ada koruptor yang terjerat hukum, ditengarai ada nuansa politisnya, atau tebang pilih, menyimpang dari sistem. Atau mereka yang belum lihai korupsi, sehingga mudah terlacak. Barangkali, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, bisa dikategorikan sebagai seorang koruptor yang jujur, belum lihai korupsi. Seperti diungkapkannya, bahwa semua menteri (departemen) mempunyai dana nonbudgeter dan mengalirkan dana itu seperti yang dilakukannya. Tapi Rokhmin rupanya tidak tahu bahwa menteri lainnya tidak mengadministrasikan transaksi dana nonbudgeter itu. Sehingga secara hukum positif, sulit dibuktikan. Sementara Rokhmin sendiri dengan jujur mencatatnya secara rinci. Catatan itu menjadi bukti yang menjeratnya menjadi koruptor. Sementara menteri atau pejabat lain, yang tidak membolehkan ada catatan tentang dana serupa, sulit bahkan tidak mungkin dibuktikan korupsi.

Begitu juga mantan Calon Presiden 2004, HM Amien Rais, yang dengan ‘jujur’ mengakui menerima dana nonbudgeter DKP langsung dari Rokhmin Dahuri sebesar Rp 200 juta. Rupanya, Amien Rais juga belum termasuk koruptor yang lihai. Sebab dialah satu-satunya calon presiden yang langsung menerima dana nonbudgeter DKP itu. Sementara calon presiden lain, tidak ada yang menerima langsung. Bahkan anggota tim sukses resmi para capres lainnya itu tidak ada yang mengaku menerima dana haram itu. Akibatnya, Amien Rais telah terbukti menerima dana nonbudgeter DKP, suatu tindakan yang terbukti melanggar hukum. Hanya faktor tebang pilih yang bisa menghindari Amien Rais dari jeratan hukum. Sementara, Capres lain, yang walaupun Amien Rais, Rokhmin Dahuri dan publik yakin bahwa para capers itu juga kebagian dana haram itu, tapi tidak bisa dibuktikan secara hukum. Sehingga, tuduhan itu malah bisa dianggap sebagai fitnah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah sempat ‘mengancam’ Amien Rais, sehingga Amien Rais menyempatkan diri bertemu dengan SBY selama 12 menit di Bandara Halim Perdanakusuma. Pertemuan ini dianggap oleh publik sebagai kompromi kedua elit politik itu.

Presiden SBY melakukan konferensi pers di halaman Istana Negara (25/5)Sedangkan Rokhmin Dahuri atas kesalahannya yang dengan tertib mencatat lalulintas dana itu, tinggal menunggu hari untuk divonis pengadilan. Rokhmin harus menerima penegakan kepastian hukum, walaupun dia pasti merasa hukuman itu tidak adil, karena dia yakin menteri dan pejabat lain juga melakukan hal yang sama, seperti berulangkali diungkapkannya.

Suburnya korupsi diduga juga tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif. Aparat penegak hukum juga sulit dipercaya tidak terlibat dalam sistem korupsi yang menggurita itu. Sehingga kerap disebut ada mafia peradilan. Bahkan sesudah seorang koruptor pun sudah menyandang status terpidana, aparat lembaga pemasyarakatan (Lapas) juga ada pula yang sudah siap dengan berbagai skenario korupnya. Mulai dari pungutan liar, menerima upeti, menyunat dana rutin pemasyarakatan narapidana hingga banyak yang mati di penjara, mengizinkan penjara tempat transaksi bisnis gelap, hingga mendirikan ‘pabrik’ narkoba di penjara pun bisa terjadi.

Para politisi pun bisa korupsi berjamaah. Bahkan penggiat LSM atau kelompok-kelompok masyarakat, pers, agamawan bisa juga terlibat korupsi.

Perilaku korup para pengusaha juga diduga jauh lebih lihai lagi. Selain menyogok, membuat kongsi dengan sesama teman sebagai rekanan instansi pemerintah, merancang proyek dari titik A sampai Z hingga jatuh ke tangannya, atau paling tidak berbagi “arisan” dengan sesama kongsi, sangat lihai dilakukan. Tender bisa diatur, seolah berlangsung wajar. Semua proses tender secara formal dilakukan dengan tertib. Sehingga secara prosedur hukum sulit dibuktikan ada permainan dalam tender itu. Terlatih mendapatkan proyek lewat praktik perilaku korup, pimpro dan pengusaha sudah hafal untuk tak meninggalkan jejak korupsi. Karena setiap pejabat hanya mau berurusan dengan mereka yang sudah mengerti cara ‘kongsi’ dan ‘arisan’. Tapi, sekali lagi, ini sulit dibuktikan.

Walaupun Ketua Asosiasi Pengadaan Barang dan Distributor Seluruh Indonesia (ARDIN) John N Palinggi mengakui pengadaan barang pemerintah 56 persen masih berlangsung tidak sesuai dengan peraturan. Dan, “hampir semua instansi tidak melakukan aturan yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 80 tahun 2003. Mereka melakukan sendiri pemilihan atas dasar kroni-kroni, anak, cucu, dan segala macam. Ini masih berlangsung sampai sekarang. Dan itu adalah pemborosan paling besar di negeri ini,” ucapnya.

Amien Rais mengaku menerima dana nonbudgeter DKP dari Rokhmin Dahuri hanya sebesar Rp 200 juta“Dipaksa” Bicara
Ketika terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bahwa para calon presiden juga menerima aliran dana nonbudgeter DKP, tidak ada calon presiden yang mengaku menerimanya. Sampai kemudian Media Indonesia dalam editorialnya 14 Mei 2007, lalu bertanya-tanya, Amien tokoh yang vokalis, yang bicara tanpa tedeng aling-aling, yang komentar-komentarnya terus terang, tajam dan memikat, tetapi mengapa menyangkut dirinya sendiri sang tokoh memilih diam. Demi menggugat aksi diam Amien, Harian Media Indonesia menulis keras, “Dalam kasus aliran dana nonbugeter ini Amien Rais telah kehilangan autensitas dirinya, yang spontan dan terus terang. Sikap itu menambah kecurigaan publik bahwa reformasi telah memakan bapaknya sendiri atau malah sang bapak telah memakan reformasi sehingga ikut dalam gurita besar korupsi dan berubah menjadi badut-badut di panggung hipokrisi.”

Mantan Ketua DPP Partai Amanat Nasional ini, yang integritasnya dibedah habis oleh Media Indonesia akhirnya terpancing untuk berbicara. Senin siang, hari terbitnya editorial Media Indonesia itu, ia kemudian menggelar jumpa pers mengakui menerima dana haram itu sekaligus mengungkapkan bahwa capres-cawapres lain juga menerima dana DKP sama seperti dirinya. Karenanya ia berani meminta agar para pihak yang menerima dana tersebut mengaku saja. Bahkan ia menohok bahwa ada Capres yang menerima aliran dana asing.

Berbicara dalam Deklarasi Bersama Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi, digelar oleh Masyarakat Profesional Madani (MPM) di Jakarta, Selasa (22/5), Amien mengatakan KPU pernah meminta PPATK mengusut transaksi mencurigakan yang masuk ke salah satu pasangan Capres-Cawapres pada Pilpres 2004. KPU Pusat mencium adanya transfer dana misterius yang datang dari luar negeri,” ucapnya.

Amien memang tak eksplisit menyebut nama pasangan SBY-JK penerima dana dari Washington DC yang dimaksudnya. Tetapi Presiden SBY rupaya merasa tersudutkan hingga bereaksi keras menanggapi Amien dengan menggelar jumpa pers khusus, berlangsung di halaman Istana Kepresidenan, Jumat (25/5).

Lalu masalah bergeser menjadi aksi gertak-menggertak. Sampai kemudian Mensesneg Hatta Radjasa, menteri dari PAN, menyarankan agar Presiden bertemu Ketua MPP PAN itu.

Pertemuan berlangsung Minggu (27/5) di Lanuma Halim Perdanakusuma, Jakarta sebelum Presiden berangkat ke Malaysia menghadiri pertemuan puncak ekonomi Islam dunia. Besoknya, Senin, dari rumahnya di Sleman, Yogyakarta Amien mengadakan konferensi pers mengatakan sudah bertemu Presiden SBY dan sepakat akhiri pertikaian. Beberapa saat usai itu di Kuala Lumpur Presiden pun melakukan hal sama, konferensi pers dadakan dan tanpa tanya jawab.

Pemiskinan Negara
Dua gajah tak jadi bertarung tetapi aksi sang gurita korupsi seolah dibenarkan untuk terus berlangsung. Akbar Tandjung, mantan Ketua Umum Partai Golkar, mengapresiasi Presiden SBY berhasil mendorong perdamaian, penegakan hukum dan penghapusan utang luar negeri. Tetapi sebagian penyelesaian penegakan hukum di bidang korupsi ditempuh secara adat saja.

Pertikaian antara mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dengan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki dalam kasus penunjukan langsung rekanan proyek di instansinya masing-masing, juga diselesaikan Presiden SBY secara adat. Artinya, tak ada penyelesaian hukum yang tuntas.

John N. Palinggi, Ketua ARDIN mengatakan, masalah mendasar di negara kita ini adalah, kita memang kuat memproduksi peraturan. Tetapi lemah sekali dalam menegakkannya, terutama untuk kepentingan rakyat.
Kita mungkin menegakkan hukum, tetapi sebagian besar aturan itu dijalankan melalui kepetingan-kepentingan kelompok, pribadi, dan golongan. Sehingga apa yang terjadi, kelompok pribadi dan golongan, dan beberapa orang semakin kaya, negaranya semakin miskin,” ujar John, Senin (28/5) saat diwawancarai oleh wartawan Berita Indonesia, Henry Maruasas Purba.

John Palinggi menyebutkan perilaku korup muncul karena semua orang sudah tidak lagi takut akan kutukan Tuhan. Disumpah sedemikian rupa, atribut sedemikian banyak di badan semua orang, yang beragama apapun itu, tetapi tidak pernah takut pada kutukan Tuhan dan sumpah-sumpah yang diucapkan. John menyebut kita sudah terjatuh ke dalam pangkat, harta, benda dan jabatan.

“Kita sungguh amat terjatuh mengutamakan itu, tetapi tidak sayang kepada manusia. Kita sebetulnya menjadi bagian-orang terkutuk dan selalu memperoleh kutukan dari Tuhan karena kita tidak sayang pada manusia. Kita lebih sayang pada uang, pangkat dan jabatan untuk kepentingan diri kita. Sekalipun kita mencederai sumpah kita, janji kita,” kata penggiat dialog antarumat beragama ini.

Bismar Siregar, mantan Hakim Agung yang dikenal tegas dalam bertindak di era Orde Baru mengatakan, siapa pun saat ini terlibat korupsi termasuk dirinya.”Saya sebagai manusia biasa, tidak akan berkata, ’Aku orang jujur seperti malaikat’. Aku adalah manusia yang satu saat juga melakukan kesalahan, paling tidak korupsi hati nurani,” kata Bismar.

Karena semua orang telah berperilaku korup, berlangsung secara sistemik di semua sektor kehidupan, Bismar berpendapat bahwa jalan keluar dari jeratan korupsi adalah dengan berdoa kepada Tuhan. “Mudah-mudahan dibukakan Tuhanlah hati kita ini. Bagi mereka yang telah buta matanya diterangi, yang tuli telinganya diterangi, yang mati hatinya diterangi.

Tidak ada komentar: